Kamis, 05 Mei 2016

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

A.PENGERTIAN
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah suatu kondisi yang menyebabkan kelenjar prostat mengalami pembengkakan, namun tidak bersifat kanker. Kelenjar prostat memiliki fungsi untuk memproduksi air mani dan terletak pada rongga pinggul antara kandung kemih dan penis.
Karena kelenjar prostat hanya dimiliki oleh pria, maka tentu saja seluruh penderita BPH adalah pria. Umumnya pria yang terkena kondisi ini berusia di atas 50 tahun.

B.PENYEBAB
Sebenarnya penyebab persis pembesaran prostat jinak (BPH) masih belum diketahui, namun diperkirakan kondisi ini terjadi karena adanya perubahan pada kadar hormon seksual akibat proses penuaan.
Pada sistem kemih pria terdapat sebuah saluran yang berfungsi membuang urine keluar dari tubuh melalui penis, atau lebih dikenal sebagai uretra. Dan jalur lintas uretra ini secara kebetulan melewati kelenjar prostat. Jika terjadi pembesaran pada kelenjar prostat, maka secara bertahap akan mempersempit uretra dan pada akhirnya aliran urine mengalami penyumbatan. Penyumbatan ini akan membuat otot-otot pada kandung kemih membesar dan lebih kuat untuk mendorong urine keluar.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena BPH adalah:
·                     Kurang berolahraga dan obesitas.
·                     Faktor penuaan.
·                     Menderita penyakit jantung atau diabetes.
·                     Efek samping obat-obatan penghambat beta.
·                     Keturunan

C.GEJALA 

Berikut ini gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran prostat jinak (BPH):
·                     Selalu ingin berkemih, terutama pada malam hari.
·                     Inkontinensia urine atau beser.
·                     Sulit mengeluarkan urine.
·                     Mengejan pada waktu berkemih.
·                     Aliran urine tersendat-sendat.
·                     Mengeluarkan urine yang disertai darah.
·                     Merasa tidak tuntas setelah berkemih.
Munculnya gejala-gejala tersebut disebabkan oleh tekanan pada kandung kemih dan uretra ketika kelenjar prostat mengalami pembesaran.
Disarankan untuk menemui dokter jika Anda merasakan gejala BPH, meski ringan. Diagnosis sangat diperlukan karena ada beberapa kondisi lain yang gejalanya sama dengan BPH, di antaranya:
·                     Prostatitis atau radang prostat.
·                     Infeksi saluran kemih.
·                     Penyempitan uretra.
·                     Penyakit batu ginjal dan batu kandung kemih.
·                     Bekas luka operasi pada leher kandung kemih.
·                     Kanker kandung kemih
·                     Kanker prostat.
·                     Gangguan pada saraf yang mengatur aktivitas kandung kemih.

D. TES YANG DI GUNAKAN

Ada beberapa jenis tes yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis penyakit BPH, antara lain:
·                     Tes urine. Tes ini dilakukan jika dokter mencurigai gejala yang dirasakan oleh pasien bukan disebabkan oleh BPH, melainkan oleh kondisi lainnya, seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal.
·                     Tes darah. Komponen yang diperiksa dalam tes ini adalah protein prostat spesifik antigen (PSA), yaitu suatu protein yang dihasilkan prostat. Jika kadar PSA pasien tinggi, maka kemungkinan pasien menderita BPH juga besar. Jika kenaikan tersebut terjadi secara signifikan, maka peluang pasien untuk terkena kanker prostat juga ada.
·                     Tes kelancaran aliran urine. Dalam pemeriksaan ini, dokter akan memasukkan kateter yang dilengkapi kamera ke dalam saluran kemih pasien. Melalui monitor, dokter akan dapat melihat besarnya tekanan di dalam kandung kemih dan seberapa baik kinerja organ tersebut saat pasien berkemih.
·                     CT urogram. Metode pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui keadaan saluran kemih pasien, misalnya apakah ada kerusakan pada saluran tersebut, atau apakah ada penyumbatan yang disebabkan kondisi selain BPH, seperti penyakit batu kandung kemih atau batu ginjal.
·                     USG transrektal atau USG melalui dubur. Melalui pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara ini dokter akan mendapatkan gambar kelenjar prostat dan bagian di sekelilingnya secara lebih rinci, guna mengetahui apakah pasien menderita BPH atau kondisi lainnya seperti kanker.
Selain untuk memastikan bahwa gejala yang dirasakan oleh pasien adalah akibat BPH dan bukan disebabkan oleh kondisi-kondisi lainnya, tes-tes lebih lanjut juga dapat membantu dokter memberikan pengobatan yang tepat. 
E.PENGOBATAN
Penanganan pembesaran prostat jinak (BPH) dikelompokan menjadi dua, yaitu penanganan BPH dengan gejala ringan dan penanganan BPH dengan gejala menengah hingga parah.
Untuk kasus BPH ringan biasanya cukup ditangani dengan obat-obatan, terapi menahan berkemih, dan perubahan gaya hidup. Perubahan gaya hidup yang dimaksud adalah dengan:
·                     Mulai berolahraga secara teratur, misalnya berjalan kaki hingga satu jam tiap hari.
·                     Mulai mengurangi atau berhenti mengonsumsi kafein dan minuman keras.
·                     Mencari jadwal minum obat yang tepat agar terhindari dari nokturia atau meningkatnya frekuensi buang air kecil sepanjang malam.
·                     Mulai membiasakan diri untuk tidak minum apa pun dua jam sebelum waktu tidur agar terhindar dari nokturia atau berkemih sepanjang malam.
Obat BPH yang sering digunakan adalah dutasteride dan finasteride. Obat yang mampu menurunkan ukuran prostat dan meredakan gejala BPH ini bekerja dengan cara menghambat efek dari hormon dihidrotestosteron. Namun penggunaan kedua obat ini tidak boleh sembarangan dan harus melalui petunjuk dari dokter karena memiliki efek samping yang cukup serius. Beberapa efek samping dari dutasteride dan finasteride adalah turunnya kuantitas sperma, impotensi, dan risiko cacat bayi jika Anda menghamili perempuan saat sedang menjalani pengobatan dengan kedua obat ini.
Selain dutasteride dan finasteride, obat BPH lainnya yang juga sering digunakan adalah golongan penghambat alfa, seperti alfuzosin dan tamsulosin. Obat penghambat alfa ini biasanya dikombinasikan dengan finasteride. Obat ini mampu memperlancar laju urine dengan cara melemaskan otot-otot kandung kemih. Efek samping yang mungkin terjadi setelah mengonsumsi alfuzosin dan tamsulosin adalah badan lemas, sakit kepala, dan turunnya kuantitas sperma. Untuk efek samping yang lebih serius, kedua obat ini berisiko menyebabkan hipotensi atau tekanan darah rendah, bahkan pingsan.


0 komentar:

Posting Komentar